Jam Sibuk Tambah 3,5 Jam
Pertambahan jumlah kendaraan di Surabaya jauh lebih cepat dibandingkan pengembangan akses jalan. Di sisi lain, moda transportasi masal seperti angkot dan bus kota tidak lagi menjadi pilihan karena alasan kenyamanan dan keamanan.
---
Kemacetan lalu lintas memang bukan barang baru di Surabaya, terutama saat jam sibuk. Namun, akhir-akhir ini ada yang berbeda. Waktu kemacetan terasa semakin lama.
Contohnya terlihat di sepanjang Jalan Panglima Sudirman ke arah utara sampai Jalan A.Yani. Tahun lalu, pada hari Senin hingga Jumat, kepadatan kendaraan pada ruas itu pada jam pulang kantor biasa terjadi sekitar pukul 16.00 hingga 18.00. Sekarang kendaraan mulai merambat sejak pukul 15.00 hingga 19.00.
Artinya, ada penambahan waktu kepadatan lalu lintas sekitar dua jam.
Menurut pakar transportasi ITS Wahju Herijanto, jam macet sebenarnya tidak maju, tetapi melebar. "Misalnya, pada jam pulang kerja bertambah satu jam di awal dan satu jam di akhir, sedangkan pada jam berangkat kerja bertambah setengah jam di awal dan satu jam di akhir," paparnya.
Misalnya, jika dulu kemacetan di ruas protokol mulai terasa pukul 06.30 hingga pukul 08.00, saat ini kondisi mulai ramai pada pukul 06.00 hingga mencapai puncak pukul 09.00. Kalau dijumlahkan, pelebaran jam sibuk sekitar 3,5 jam. Yakni, saat berangkat melebar 1,5 jam dan saat pulang melebar dua jam.
"Orang-orang yang enggan terjebak macet pada jam berangkat kerja akan memilih berangkat lebih pagi. Begitu pula halnya pada jam pulang kerja, mereka memilih menunda lebih malam," terang Wahju. Namun, upaya itu tetap tidak bisa meredakan kepadatan lalu lintas. Selain pertumbuhan kendaraan kendaraan yang pesat, banyak orang yang melakukan hal serupa.
Tidak hanya di Jalan Panglima Sudirman, sejumlah jalan utama dan jalan penyambung antarkota juga terus mengalami penambahan kepadatan lalu lintas dari waktu ke waktu. Jalan Wiyung, misalnya. Pada 2005, saat belum mengalami pelebaran, pada pagi hari jalanan terasa macet sejak pukul 06.10. Saat badan jalan sudah dilebarkan seperti sekarang, jam macet maju sekitar pukul 05.45. Kepadatan sudah terasa mulai kawasan Babatan Indah hingga Kedurus. Kondisi semakin sesak hingga sekitar pukul 09.00.
Menjelang siang, kepadatan terasa sejak depan Royal Residence ke arah barat hingga perempatan Babatan Indah arah Unesa. Pelebaran Jalan Wiyung yang merupakan salah satu akses Surabaya-Gresik begitu lambat. Di sisi lain, pertambahan kendaraan dan kebutuhan akan pemakaian jalan tersebut melaju pesat.
Di tengah kota seperti Jalan Raya Darmo di depan Taman Bungkul hingga perempatan Graha Wismilak, keramaian terasa hingga sekitar pukul 10.00, sesuatu yang tidak terjadi pada tahun-tahun lalu. Kadang, kendaraan yang melintas harus rela merayap. Hal serupa terlihat di Jalan Raya Tandes dan Jalan Jalan Kalianak yang tak henti menjadi biang kemacetan dan kecelakaan.
***
Berdasar data yang dihimpun Jawa Pos, penambahan jalan yang dikelola pemkot dalam kurun 2008 hingga September 2012 tidak lebih dari 40 kilometer. Di sisi lain, pertambahan jalan nasional di Surabaya sejak 2008 hanya middle east ring road yang hingga kini baru sepuluh kilometer. Penambahan itu tidak mampu mengimbangi jumlah kendaraan yang sejak 2010 tumbuh di atas 150 ribu unit atau 40 persen per tahun.
Kabid Lalu lintas Dishub Surabaya Agus Haris mengatakan, kebijakan paling masuk akal adalah mengendalikan permintaan perjalanan di Surabaya. Caranya, menggeser jam berangkat sekolah dan jam berangkat kerja. Dia mencontohkan, saat ini siswa harus masuk sekolah pukul 06.30. Artinya, mereka harus berangkat sejak pukul 06.00.
Di sisi lain, jam kantor untuk instansi pemerintahan bisa dimajukan pukul 07.30. Artinya, para pegawai negeri bisa berangkat pukul 07.00. Jadi, ada rentang waktu yang memisahkan sekitar setengah jam antara jam berangkat siswa dan pegawai. "Tapi, kebijakan ini tidak akan bertahan lama jika pertumbuhan kendaraan jauh lebih cepat," keluhnya.
Pemkot tampaknya belum memiliki solusi konkret untuk mengatasi masalah itu. Harapan terbesar ada pada realisasi alat transportasi masal. Namun, Kepala Bappeko Hendro Gunawan mengutarakan bahwa proyek transportasi masal baru masuk kajian mendetail.
"Studi kelayakan diharapkan selesai tahun depan dan dilanjutkan lelang fisik. Mudah-mudahan 2014 pembangunan selesai dan 2015 bisa beroperasi," ucap Hendro.
Hendro bahkan berjanji dua alat transportasi masal bisa beroperasi pada 2015. Yakni, monorel untuk koridor timur-barat dan trem untuk koridor utara-selatan. Namun, berdasar pengalaman, target pembangunan dua moda transportasi masal dalam setahun secara bersamaan terdengar muluk-muluk. Apalagi, anggaran yang dikucurkan triliunan rupiah. "Ya, kami harus optimistis," tutur alumnus Erasmus University itu.
Pakar transportasi ITS Wahju Herijanto mempertanyakan target pemkot tersebut. Dia yakin, pembangunan dua moda itu sulit rampung dalam satu tahun secara bersamaan. "Saya nggak tahu hitung-hitungan pemkot seperti apa. Yang pasti, sulit membangun itu hanya dalam waktu setahun," tuturnya.
Kabid Pajak Dinas Pendapatan (Dispenda) Jatim Aris Sunarja mengungkapkan, salah satu penyebab kian banyaknya kendaraan adalah kemudahan untuk mendapatkannya. Misalnya, kendaraan roda dua. Diler berlomba-lomba memberikan down payment (DP) atau uang muka yang rendah untuk kredit sepeda motor.
Dengan hanya beberapa ratus ribu, orang bisa memiliki sepeda motor baru. Tidak hanya itu, syarat-syarat kepemilikan juga dipermudah. Cukup bermodal KTP, seseorang bisa mengajukan kredit. Karena itu, saat ini tak heran jika ada dua sampai tiga kendaraan roda dua di satu rumah. Bahkan, ada yang per orang di dalam rumah memiliki sepeda motor sendiri-sendiri.
Hal serupa terjadi pada pembelian mobil. Namun, kenaikannya tidak sebanyak kendaraan roda dua.
Aris berharap, tahun depan kenaikan jumlah kendaraan tidak terlalu pesat. Sebab, ada kebijakan baru dari pemerintah pusat bahwa DP untuk kendaraan bermotor dinaikkan di kisaran 30 persen.
Jika dulu cukup bayar DP Rp 500 ribu untuk memiliki sepeda motor seharga Rp 12 juta, kini hal serupa tak bisa lagi. Minimal orang harus menyediakan DP Rp 3,6 juta. Dengan aturan baru itu, pertambahan kendaraan roda dua baru akan turun cukup drastis.
"DP itu berpengaruh pada kelas menengah ke bawah. Untuk orang kaya, jelas tak ada masalah. Meski disuruh bayar DP berapa pun, mereka akan tetap membeli," ujarnya. Umumnya, yang dibeli orang kalangan menengah ke atas adalah mobil.
Banyaknya pertambahan kendaraan baru tersebut juga disebabkan meningkatnya kesejahteraan masyarakat. Banyak orang kaya baru di Jatim. Merekalah yang akhirnya membeli berbagai kendaraan untuk identitas peningkatan kesejahteraannya. (rio/idr/sha/lum/c8/fat)b
Sumber: Jawa Pos
Tidak ada komentar:
Posting Komentar